Sejarah Pendirian Fakultas Ilmu Pertanian di Bogor

Sejarah Pendirian Fakultas Ilmu Pertanian di Bogor

Sejarah Pendirian Fakultas Ilmu Pertanian di Bogor

Gagasan untuk mendirikan sebuah perguruan tinggi di Hindia-Belanda telah direncanakan sejak awal abad ke-20. Gagasan tersebut mendapat dukungan dari berbagai pihak termasuk para ilmuwan Belanda. Salah satunya adalah F. van Schuijlenburch, Ketua Pengurus Indische Bond ‘Perhimpunan Hindia-Belanda’. Perencanaan pembukaan lembaga pendidikan tinggi pertanian dan kehutanan (Hooger Land- en Boschbouw-onderwijs) di Buitenzorg (kini disebut Bogor) serta dokter hewan (Veeartsenijkundig-Hooger Onderwijs) di Hindia-Belanda telah dibicarakan sejak tahun 1918. Namun muncul perdebatan di antara kalangan pemerintah Belanda dengan rakyat pribumi terhadap rencana tersebut. Pemerintah Belanda beranggapan bahwa apabila Landbouwhogeschool didirikan di Hindia-Belanda yang notabenenya beriklim tropis maka para tamatan Landbouwhogeschool di Hindia-Belanda dapat lebih mudah untuk memilih tempat pekerjaan di perkebunan-perkebunan daerah tropika. Kondisi ini membuat para lulusan Landbouwhogeschool di Wageningen, Belanda menjadi tersaingi. Di lain sisi, pemerintah Belanda juga merasa takut apabila kejayaan Landbouwhogeschool di Wageningen memudar bahkan hingga mengalami kerugian dan tutup permanen.

Penolakan tersebut kemudian mengalami perubahan setelah Belanda mengalami pendudukan oleh tentara Jerman pada 10 Mei 1940. Oleh karena itu, Pemerintah Belanda berusaha untuk mempercepat pendirian perguruan tinggi pertanian (Landbouwkundige Hogeschool). Pemenuhan kebutuhan tenaga berpendidikan tinggi pertanian yang selama ini berasal dari lulusan Landbouwhogeschool di Wageningen menjadi terhambat sehingga pendirian perguruan tinggi pertanian di Hindia Belanda dianggap mendesak. Tiga bulan setelahnya, pada 18 Agustus 1940, Prof. Dr. PA. Hoesein Djajadiningrat selaku penanggungjawab direktur pengajaran dan keagamaan menulis surat kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda perihal permohonan anggaran tambahan untuk tahun 1940 yang berkaitan dengan dimulainya landbouwkundige propaedeuse sebagai persiapan untuk pembukaan Faculteit van Landbouwwetenschap. Perkuliahan perdana dilaksanakan pada 1 September 1940 dan diresmikan pada 31 Oktober 1941 sebagaimana tertulis dalam Surat Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Namun aktivitas fakultas harus terhenti seiring dengan kalahnya Belanda di Perang Dunia II dan kondisi Indonesia yang saat itu mengalami masa pendudukan Jepang pada tahun 1942.

Pasca Indonesia merdeka, didirikanlah sebuah universitas darurat di Jakarta yang dikenal dengan nama Nood-Universiteit. Universitas ini diresmikan oleh PA Karstens selaku Pejabat Direktur Pengajaran dan Keagamaan pada 21 Januari 1946. Nood-Universiteit mengelola lima fakultas yang sudah berdiri pada akhir tahun 1942, salah satunya adalah Fakultas Pertanian (Landbouwkundige Faculteit). Pada awal berdirinya Nood-Universiteit, jumlah mahasiswa yang terdaftar sebanyak 221 orang kemudian naik hampir dua kali lipat sebanyak 430 mahasiswa pada bulan Mei 1946. Terkhusus mahasiswa Landbouwkundige Faculteit berjumlah 9 orang yang terdiri atas seorang pribumi, 4 bangsa Belanda, dan 4 etnis Tionghoa, salah seorang di antaranya ialah Prof. Dr. Ir. Go Ban Hong. Kegiatan perkuliahan ditempatkan di Rumah Sakit Cikini, Jalan Raden Saleh, Jakarta Pusat.

Gambar 1.1. Kartu mahasiswa Universiteit van Indonesië Faculteit van Landbouwwetenschap. Studiejaar 1947/1948, tanggal Batavia-C, 19 Juni 1947 No. 41, atas nama Go Ban Hong.

Pada tahun 1947, Nood-Universiteit berubah nama menjadi Universiteit van Indonesie. Universitas ini memiliki lima fakultas yang tersebar di tiga tempat, salah satunya adalah Fakultas Ilmu Pengetahuan Pertanian (Faculteit van Landbouwwetenschap) di Buitenzorg. Keputusan Wakil Gubernur Jenderal Hindia-Belanda tanggal 12 Maret 1947 No. 1 menetapkan pada Pasal 13 bahwa Faculteit van Landbouwwetenschap terdiri atas de afdeling landbouwkunde ‘bagian ilmu pertanian’ dan de afdeling boshbouwkunde ‘bagian ilmu kehutanan’. Pemilihan Bogor sebagai lokasi kegiatan perkuliahan ilmu pertanian didasarkan pada pertimbangan bahwa Bogor memiliki beberapa lembaga penelitian yang dapat memberikan manfaat terhadap perkembangan ilmu pertanian. Kegiatan perkuliahan di Faculteit van Landbouwwetenschap dipusatkan di gedung tempat pendidikan Nederlandsch-Indische Veeartsenschool (NIVS) bersama dengan Diergeneeskundige Faculteit pada 20 November 1948. Kegiatan tersebut dilakukan di Taman Kencana dan rumah yang berlokasi di Jalan Pangrango No. 2, Kota Bogor. Saat itu, Prof Dr FA van Baren menjabat sebagai Dekan Faculteit van Landbouwwetenschap.

Gambar 1.2. Rumah di Jalan Pangrango No. 2, Kota Bogor yang digunakan untuk kegiatan perkuliahan mahasiswa Faculteit van Landbouwwetenschap.

Pada masa pemerintahan Republik Indonesia Serikat (RIS), Universiteit van Indonesie digabungkan dengan Balai Perguruan Tinggi Republik Indonesia (BPTRI) dengan nama Universiteit Indonesia/Balai Perguruan Tinggi Republik Indonesia Serikat. Ir. RP. Soerachman dilantik sebagai Presiden Pertama Universiteit Indonesia/Balai Perguruan Tinggi RIS berdasarkan Keputusan Presiden RIS No. 70 Tahun 1950 tanggal 15 Februari 1950, terhitung sejak tanggal 1 Februari 1950. Pada saat penggabungan, Universiteit Indonesia mengelola sembilan fakultas yang tersebar di lima kota, salah satunya di Kota Bogor. Ada dua fakultas yang berlokasi di Kota Bogor yakni Fakulteit Ilmu Pengetahuan Pertanian dan Fakulteit Kedokteran Hewan. Pada laporan tahunan “Tahun Peladjaran 1950—1951 Fakultet Pertanian, Universitet Indonesia di Bogor” yang diterbitkan oleh Universitet Indonesia disebutkan bahwa ruang kuliah di Gedung Fakultet Kedokteran Hewan juga digunakan untuk beberapa kuliah Fakultet Pertanian. Fakultet Pertanian Universitet Indonesia inilah yang kemudian menjadi cikal bakal pembangunan kampus Institut Pertanian Bogor (IPB) pada tahun 1952.

Daftar Pustaka:

Syafrida Manuwoto dan Soekarja Somadikarta, SEJARAH KELAHIRAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR : Lembaga Pendidikan Tinggi Ilmu-Ilmu Pertanian Tertua di Indonesia, Bogor: IPB Press, 2017.