Sajogyo dan UPGK: Peran Penting dalam Perbaikan Gizi Keluarga

Sajogyo dan UPGK: Peran Penting dalam Perbaikan Gizi Keluarga

Sajogyo dan UPGK: Peran Penting dalam Perbaikan Gizi Keluarga

Program kesehatan di Indonesia memiliki sejarah yang panjang. Berbagai program dilakukan pemerintah guna mendukung kesejahteraan rakyat, termasuk dalam bidang gizi. Salah satu program yang memiliki peran penting adalah Usaha Perbaikan Gizi Keluarga (UPGK). Program UPGK berawal dari Applied Nutrition Program (ANP) yang dikembangkan pada akhir 1960-an. Kehadiran ANP bertujuan untuk mengatasi permasalahan busung lapar dan gizi buruk pada balita. Sebagai langkah awal, program ini diujicobakan di delapan provinsi dengan dukungan dari Food and Agriculture Organization (FAO).

Gambar 1. Logo Usaha Perbaikan Gizi Keluarga (UPGK)

Pada 1969, pemerintah melakukan uji coba program ANP di Jawa Tengah. Kemudian program ini diperluas ke wilayah lain, seperti Daerah Istimewa Yogyakarta, Sumatera Selatan, dan Nusa Tenggara Barat. Ekspansi program ini berlanjut pada 1970 ke provinsi lainnya, termasuk Bali, Jawa Timur, dan Sumatera Utara. Dalam program ANP ini dilakukan berbagai kegiatan yang berfokus pada edukasi gizi dengan melibatkan kader di tingkat desa. Pada dekade berikutnya, program ini mengalami rekonseptualisasi dan reorganisasi untuk meningkatkan efektivitasnya. Hal ini perlu dilakukan karena belum adanya integrasi antara ANP dengan program lainnya seperti imunisasi, penyediaan air bersih, keluarga berencana, serta upaya peningkatan pangan dan pendapatan rumah tangga melalui sektor pertanian. Oleh karena itu, muncul gagasan untuk mengembangkan program yang lebih komprehensif dan melibatkan berbagai sektor dalam satu paket terintegrasi. Dari konsep inilah lahir program Usaha Perbaikan Gizi Keluarga (UPGK).

UPGK merupakan program pertama pemerintah yang secara khusus berfokus pada peningkatan gizi masyarakat. Program ini mulai dilaksanakan pada 1973 dengan dukungan dari United Nations International Children’s Emergency Fund (UNICEF). Pelaksanaannya melibatkan puskesmas dengan sasaran utama balita, ibu hamil, dan ibu menyusui. Sebagai bagian dari program, ibu hamil diberikan tablet tambah darah selama 90 hari untuk mencegah anemia. UPGK mencakup lima aktivitas utama dalam meningkatkan status gizi masyarakat. Pertama, pemantauan status gizi balita dilakukan setiap bulan di Posyandu. Kedua, program ini menyediakan edukasi gizi serta pemberian makanan tambahan bagi kelompok rentan. Selain itu, UPGK juga meliputi distribusi paket gizi seperti kapsul vitamin A, tablet besi, dan oralit, serta pemanfaatan pekarangan rumah untuk meningkatkan ketahanan pangan keluarga.

Gambar 2. Dradjat D. Prawiranegara sebagai Kepala Lembaga Makanan Rakyat periode 1958–1972 di Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (Sumber: Buku “Sejarah Perkembangan Gizi di Indonesia (1951–2018), hlm. 45)

Salah satu tokoh yang memiliki andil dalam program UPGK adalah Sajogyo. Ia memiliki peran penting dalam perkembangan Institut Pertanian Bogor (IPB). Sosoknya pernah menjabat sebagai Rektor IPB periode 1965–1966. Pada tanggal 10 Juli 1972, Prof. Dr. Ir. Sajogyo menerima tugas dari Menteri Kesehatan RI melalui Badan Pekerja Usaha Perbaikan Gizi Keluarga (UPGK) yang dipimpin oleh Prof. Dr. Dradjat D. Prawiranegara sebagai Kepala Lembaga Makanan Rakyat di Kementerian Kesehatan. Tugas tersebut berkaitan dengan penelitian dalam rangka Applied Nutrition Programme Evaluation Study yang dilaksanakan dengan persetujuan BAPPENAS dan didukung pendanaan oleh UNICEF Jakarta. 

Penelitian dalam rangka Applied Nutrition Programme Evaluation Study merupakan proyek berskala besar yang dilaksanakan pada tahun 1972/1973. Penelitian ini dipimpin oleh tim pusat dengan Prof. Dr. Ir. Sajogyo sebagai ketua. Dalam menjalankan tugas, ia dibantu oleh anggota tim seperti Dr. S.M.P. Tjondronegoro, Ir. Suhardjo, M.Phil, Ir. M. Khumaidi, M.Phil., Ir. Fadholi Hernanto, dan lainnya. Penelitian ini melibatkan lima tim survei daerah yang bekerja sama dengan lima universitas. Universitas tersebut mencakup Universitas Sumatera Utara, Institut Pertanian Bogor, Universitas Gadjah Mada, Universitas Satya Wacana, dan Universitas Udayana.

Survei tersebut melibatkan sejumlah ahli dari Institut Pertanian Bogor (IPB), termasuk S.P. Tjondronegoro dan Pudjiwati Sajogyo yang ahli di bidang sosiologi, serta Khumaedi di bidang ilmu gizi. Penelitian ini menghasilkan berbagai rekomendasi terkait jenis pangan bergizi dan pengembangan metode penyuluhan untuk meningkatkan gizi keluarga. Rekomendasi tersebut menjadi solusi atas asumsi dasar proyek UPGK yang menyebutkan bahwa tingkat konsumsi pangan keluarga di pedesaan masih rendah, terutama dalam hal pangan berprotein tinggi seperti ikan, telur, daging, dan kacang-kacangan serta rendahnya kesadaran gizi masyarakat. 

Gambar 3. Potret Sajogyo (sisi kanan) sebagai penanggungjawab program UPGK tahun 1973. (Sumber: https://sajogyo-institute.org/sajogyo/)

Keterlibatan Prof. Dr. Ir. Sajogyo dalam penelitian UPGK memunculkan gagasannya untuk menghitung kebutuhan pangan masyarakat berdasarkan lapisan sosial. Gagasan tersebut kemudian berkembang menjadi konsep “garis kemiskinan” yang banyak digunakan dalam kajian sosial ekonomi. Sajogyo menetapkan garis kemiskinan berdasarkan tiga kategori, yakni (1) nyaris miskin, (2) miskin, dan (3) miskin sekali.

Untuk wilayah pedesaan rumah tangga dikategorikan miskin apabila pengeluarannya di bawah 320 kg beras per tahun, miskin sekali di bawah 240 kg, dan paling miskin di bawah 180 kg. Sementara untuk wilayah perkotaan rumah tangga dikatakan miskin jika pengeluarannya di bawah 480 kg beras per tahun, miskin sekali di bawah 380 kg, dan paling miskin di bawah 270 kg. Dari klasifikasi tersebut, maka dapat ditafsirkan bahwa rumah tangga di wilayah pedesaan dengan lapisan pengeluaran 240 kg – 320 kg nilai tukar beras/orang/tahun dan di perkotaan dengan angka 360 kg – 480 kg nilai tukar beras/orang/tahun dapat memenuhi kebutuhan pangan karena mendekati 1.900 kalori dan 40 gram protein/orang/hari.

Konsep “garis kemiskinan” Sajogyo pertama kali dipublikasikan kepada masyarakat melalui surat kabar Kompas pada 17 November 1977. Tulisan tersebut berjudul “Garis Kemiskinan dan Kebutuhan Minimum Pangan”. Sejak kemunculannya, pemikiran Sajogyo mendapat perhatian luas, terutama dalam konteks pembangunan dan kebijakan sosial. Pemerintah mulai mengadopsi konsep ini sejak tahun 1977 untuk mengukur tingkat kemiskinan di Indonesia. Penggunaan konsep tersebut semakin meluas dan menjadi acuan dalam berbagai program kesejahteraan. Akhirnya, pada tahun 1984, pemerintah secara resmi menggunakan konsep garis kemiskinan versi Badan Pusat Statistik (BPS).

Pemikiran Sajogyo tentang garis kemiskinan dan ketahanan pangan merupakan warisan berharga yang tetap relevan hingga saat ini. Konsepnya tentang “garis kemiskinan pangan” menjadi acuan penting dalam menilai tingkat kesejahteraan masyarakat dan telah memengaruhi berbagai kebijakan sosial dan ekonomi. Gagasan Sajogyo juga menegaskan bahwa upaya peningkatan gizi tidak hanya bergantung pada ketersediaan pangan, tetapi juga oleh aksesibilitas, keterjangkauan, serta kesadaran masyarakat terhadap pola konsumsi yang sehat.

Daftar Pustaka:

Kementerian Kesehatan RI. 2019. Sejarah Perkembangan Gizi di Indonesia (1951–2018). Jakarta: Kementerian Kesehatan. 

Luthfi, A.N. 2011. Melacak Sejarah Pemikiran Agraria Sumbangan Pemikiran Mazhab Bogor. Sleman: STPN Press.

Sajogyo. 1996. Garis Kemiskinan dan Kebutuhan Minimum Pangan. Yogyakarta: Aditya Media.

Suratmin. 1983. Prof. Dr. Ir. Sajogyo Hasil Karya dan Pengabdiannya. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional.