Mengenal Sajogyo, “Bapak Sosiologi Pedesaan Indonesia”
Mengenal Sajogyo, “Bapak Sosiologi Pedesaan Indonesia”
Sri Kusumo Kampto Utomo atau yang lebih dikenal dengan nama Sajogyo adalah salah satu tokoh yang memiliki pengaruh besar terhadap sejarah perkembangan Institut Pertanian Bogor (IPB) University. Ia lahir di Karanganyar-Kebumen pada 21 Mei 1926. Sajogyo memulai riwayat pendidikannya dengan menamatkan sekolah Hollandsch-Inlandsche School (HIS) di Kediri. Kemudian ia berhasil lulus dari pendidikan Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) di Purwokerto dan menyelesaikan pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) di Yogyakarta. Setelahnya Sajogyo melanjutkan studi ke perguruan tinggi pada 1949. Bidang Ilmu-Ilmu Sosial dan Ekonomi (Sosek), Fakultas Pertanian, Universitas Indonesia di Bogor menjadi pilihannya.
Saat duduk di bangku perkuliahan, Sajogyo tidak hanya berfokus terhadap perkembangan akademiknya saja. Ia mencoba untuk memulai karier sebagai asisten dosen dan peneliti. Dalam kurun waktu dua tahun (1953—1955), Sajogyo terlibat dalam sebuah penelitian terkait koperasi dan keprihatinan terhadap perbedaan lapisan golongan atau kelas sosial di pedesaan. Ia melakukan penelitian tersebut di Desa Teruka, Dataran Tinggi Cibodas, Jawa Barat bersama dosennya bernama Ten Dam yang berasal dari Belanda. Ia juga pernah terlibat dalam kegiatan penelitian bersama J. Pelzer Karl mengenai agrarian di wilayah Sumatera Timur dengan pendekatan geografi.
Walaupun Sajogyo disibukkan dengan kegiatan penelitian, hal ini tidak serta merta membuat dirinya melupakan kewajiban untuk menyelesaikan studi. Pada 1955, ia akhirnya berhasil memperoleh gelar Insinyur Pertanian. Selanjutnya ia membantu penelitian W.F. Wertheim mengenai transmigran di Lampung. Permasalahan inilah yang kemudian diangkat oleh Sajogyo sebagai topik disertasinya dengan judul “Masyarakat Transmigran Spontan di Daerah Way Sekampung (Lampung)”. Sajogyo berhasil mempertahankan judul disertasinya dalam ujian doktoral Fakultas Pertanian Universitas Indonesia (UI) di Bogor pada 5 Oktober 1957.
Satu tahun setelahnya, Sajogyo berkarier sebagai dosen Fakultas Pertanian UI di Bogor. Dengan berbagai pengalaman yang dimiliki membuat dirinya semakin intensif dalam mengerjakan pembangunan keilmuan Sosiologi Pedesaan. Tidak hanya mengabdi pada almamaternya sendiri, ia turut mengajar di Akademi Gizi Bogor pada 1959—1961. Aspek pangan menjadi perhatiannya, ia menemukan hasil berupa “kecukupan pangan dan kalori yang merupakan kebutuhan manusia untuk dapat hidup”. Kontribusinya dalam dunia pendidikan membuat Sajogyo berhasil menjabat sebagai Rektor IPB pada 1965. Namun jabatannya sebagai Rektor IPB terbilang singkat hanya satu tahun saja sebab berakhir pada tahun 1966.
Sajogyo mengabdikan dirinya dalam bidang sosial dan pertanian Indonesia. Hal ini terlihat ketika revolusi pertanian masuk ke Indonesia pada masa orde baru. Ia dengan cakap memberikan evaluasi terhadap program revolusi yang diusung oleh Amerika dan turut berperan sebagai penanggung jawab penelitian Intensifikasi Padi Sawah (IPS) sejak 1968 hingga 1972. Selain itu, ia juga membidani kelahiran Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi) pada 1969. Kiprah Sajogyo dalam dunia pertanian diwujudkan dalam sebuah karya tulis berjudul “Modernization without development in rural Java” pada 1973. Karya tulis ini sukses menarik perhatian berbagai kalangan di seluruh dunia bahkan turut diterbitkan sebagai buku oleh suatu lembaga studi Pembangunan di Bangladesh pada 1975.
Kontribusi Rektor kedua IPB University ini terus berlanjut. Dalam bidang sosial, ia membuat Program Upaya Perbaikan Gizi Keluarga (UPGK) pada 1973. Program ini terbilang cukup sukses sebab mudah dipahami oleh para kader program “Taman Gizi”, sekalipun mereka tidak mempunyai latar belakang pendidikan formal. Sajogyo turut mengambil peran dalam sebuah seminar yang membahas perihal gizi bersama pemda Bogor. Seminar ini dilaksanakan di Desa Gadog, Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor pada 25 Agustus 1975. Peran aktif pria kelahiran Kebumen ini dalam bidang gizi memunculkan sebuah rumusan “Garis Kemiskinan Sajogyo” yang dipublikasikan dalam buku “Garis Kemiskinan dan Kebutuhan Minimum Pangan” pada 1977. Berkat kontribusinya inilah Sajogyo dilantik sebagai ketua organisasi Pergizi Pangan Indonesia pada 1978.
Saat menjabat sebagai ketua organisasi Pergizi Pangan Indonesia, Sajogyo melakukan penghitungan terhadap angka kecukupan pangan orang Indonesia. Menurutnya, angka kecukupan pangan orang Indonesia ialah 2172 kalori/orang/hari. Oleh karena itu apabila berada di bawah angka ini maka seseorang dinyatakan miskin. Pengukuran kecukupan pangan ini diadopsi sebagai kebijakan pemerintah dalam rumusan food basket atau kebutuhan dasar pangan “empat sehat lima sempurna”, yang dicetuskan oleh Prof. Poorwo Soedarmono (Bapak Gizi Indonesia) pada 1950.
Perjalanan hidup seorang Sajogyo seolah tidak pernah terlepas dari kontribusi. Pada 1980, ia kembali memberikan kontribusi melalui sebuah gagasan “Ekonomi Pedesaan”. Gagasan ini merupakan sebuah pemahaman tentang keberlanjutan siklus reproduksi sosial, ekonomi, dan budaya yang tetap berputar di pedesaan. Menurut Sajogyo, pembangunan pedesaan dengan agenda utama reforma agrarian harus disusun dan dibangun berdasarkan penggalian dari tingkat mikro bahkan sejak tingkat individu petani itu sendiri (asupan kalori). Oleh karena itu, untuk mensukseskan gagasannya, Sajogyo mengajak para ilmuwan intelektual supaya memiliki wawasan yang utuh dan komprehensif dalam memahami masyarakat di Indonesia.
Sajogyo merupakan pribadi yang istimewa. Kontribusinya dalam bidang sosial dan pertanian Indonesia membuat dirinya memperoleh berbagai penghargaan. Sosok yang memiliki motto hidup, “mendahulukan yang terbelakang” ini dianugerahi Pahala Alma Seroja oleh Fakultas Pertanian IPB pada 20 September 1988. Kepakaran dan gagasannya dalam bidang Sosial Ekonomi juga diakui oleh Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI). Hal ini membuat dirinya ditetapkan sebagai Anggota Kehormatan pada 1997.
Penghargaan yang disematkan kepada Sajogyo tidak membuat dirinya gelap mata dalam sekejap. Ia justru memanfaatkan momentum tersebut untuk membangun sebuah perpustakaan Dokumentasi Ilmu-Ilmu Sosial-Humaniora (Perpustakaan DOKISH). Berawal dari adanya pembangunan perpustakaan inilah kemudian para kolega, murid, pengagum, dan keluarganya mendirikan lembaga Sajogyo Institute (Sains) pada 2005. Dengan adanya lembaga ini diharapkan dapat melanjutkan prinsip dan semangat perjuangan Sajogyo. Tujuh tahun kemudian, Sajogyo menghembuskan napas terakhir pada 17 Maret 2023. Ia meninggal dunia pada umur 85 tahun di Bogor. Meskipun raga telah pergi, namun kontribusi Sajogyo terus abadi. Seluruh upaya dan kiprah dalam memahami situasi pedesaan untuk mengentaskan cita dan citra masyarakat Indonesia membuat para murid dan kolega menyematkan julukan kepada Sajogyo sebagai “Bapak Sosiologi Pedesaan Indonesia” dan “Bapak Ekonomi-Sosiologi Indonesia”.
Daftar Pustaka:
Manuwoto S, dkk. 2017. Sejarah Perjalanan Institut Pertanian Bogor Sebagai Lembaga Pendidikan Tinggi Pertanian 1963—2017 : Buku 1 Pertumbuhan dan Perkembangan IPB. Bogor: IPB Press.