Mengenal Bulgur, Alternatif Pangan di Masa Krisis
Mengenal Bulgur, Alternatif Pangan di Masa Krisis
Pada awal kemerdekaan, seluruh rakyat pribumi memulai transisinya, terutama di kalangan mahasiswa. Perjuangan mahasiswa dalam mempertahankan kemerdekaan terhambat oleh tantangan struktural dan sosial. Pemerintah berperang penting dalam merumuskan kebijakan yang mengatur pembinaan kemahasiwaan. Pada periode tersebut, sistem Pendidikan Tinggi di Indonesia masih mengacu pada Ordonantie Belanda 1946 untuk mengatur kehidupan mahasiswa. Aspek-aspek kemahasiswaan yang diperhatikan meliputi olahraga, kedisiplinan, serta pemberian beasiswa bagi mahasiswa yang kurang mampu, termasuk bantuan berupa asrama atau tempat tinggal.

Selain asrama, pemerintah juga memberikan perhatian khusus pada sektor pangan. Kondisi sosial-ekonomi antara tahun 1946–1950 yang belum stabil menyebabkan kemiskinan meluas. Indonesia bahkan harus menghadapi ancaman kelangkaan beras dan hampir terjerumus dalam krisis kelaparan. Hal ini disebabkan oleh pemanfaatan bahan kebutuhan pokok, seperti beras yang telah banyak digunakan bangsa Belanda dan Jepang. Dalam situasi tersebut, pemerintah akhirnya memutuskan untuk mengimpor bulgur sebagai bahan pangan dari Amerika Serikat.
Bulgur merupakan jenis biji gandum yakni tricium yang ditumbuk kasar dan dapat dimasak hingga matang dalam durasi singkat. Pada masa awal kemerdekaan, pemerintah memberikan bulgur sebagai bantuan pangan untuk masyarakat, tak terkecuali para mahasiswa. Bukan tanpa alasan, hal ini dilakukan untuk meminimalisir risiko kelaparan dan krisis pangan yang melanda Indonesia. Popularitas bulgur sebagai alternatif pangan semakin meningkat pada awal 1960an. Ketika itu krisis ekonomi sedang menghantam Indonesia. Krisis ini menyebabkan inflasi melonjak hingga 650% dan membuat kesejahteraan rakyat merosot tajam. Selain itu, situasi ini memicu gelombang unjuk rasa mahasiswa yang menyuarakan Tritura (Tiga Tuntutan Rakyat) yang mencakup pembubaran PKI, perombakan Kabinet Dwikora, dan penurunan harga pangan. Ketidakstabilan politik di negeri inilah yang akhirnya membuat pemerintah memutar otak mencari pangan alternatif selain beras.

Pada awal masa Orde Baru, pemerintah sangat menyadari pentingnya beras bagi rakyat Indonesia. Namun persediaannya masih terbatas. Alhasil Soeharto sebagai Presiden Rebulik Indonesia meminta bantuan kepada Amerika Serikat untuk mengimpor beras. Namun Amerika Serikat justru menyarankan agar Indonesia mengonsumsi bulgur sebagai solusi alternatif. Memang di “Negeri Paman Sam”, bulgur sangat populer terutama sebagai pakan kuda. Pada 1967, pemerintah Amerika Serikat mengirimkan bantuan berupa 100.000 ton beras beserta tepung terigu dan bulgur. Khusus untuk bulgur jumlah konsumsinya dibatasi hanya dua kilogram per keluarga. Jumlah tersebut jelas tidak mencukupi kebutuhan masyarakat. Pada masa itu, masyarakat Indonesia belum terbiasa mengonsumsi bulgur sebagai pengganti beras. Terlebih lagi, saat itu bulgur identik sebagai panganan untuk golongan miskin.
Pemerintah bahkan melakukan sosialisasi melalui media massa untuk memperkenalkan bulgur sebagai alternatif pengganti beras kepada masyarakat Indonesia. Namun upaya tersebut tidak berhasil. Terlebih proses memasak bulgur yang tidak mudah karena direndam semalaman terlebih dahulu. Kulit arinya yang keras membuat makanan ini sulit untuk dicerna dan terasa berat di tenggorokan. Selain itu, rasanya yang cenderung hambar memaksa orang mencampurnya dengan singkong atau jagung. Kondisi ini menjadi semakin buruk dengan munculnya seruan “Bulgur No, Beras Yes!” pada tahun tersebut.

Keberadaan bulgur sebagai pengganti beras merupakan bukti nyata dari pengaruh Ordonantie Belanda 1946. Peraturan tersebut menjadi landasan dalam mengatur kehidupan dan kesejahteraan mahasiswa di Indonesia. Konsep kesejahteraan yang awalnya berfokus pada mahasiswa kemudian berkembang mencakup upaya di bidang ketahanan pangan nasional. Pemberian bulgur sebagai alternatif pangan bagi mahasiswa menjadi langkah strategis di tengah krisis pangan. Upaya tersebut mencerminkan komitmen pemerintah dalam memprioritaskan kesejahteraan para generasi muda sebagai harapan bangsa.
Daftar Pustaka:
Harian Indonesia Raya edisi Sabtu, 1 Februari 1969.
Manuwoto S, dkk. 2020. Sejarah Kemahasiswaan IPB 1963–2018. Bogor: IPB Press.
Mufti, HR. 2009. “Kebijakan pangan Pemerintah Orde Baru dan nasib kaum Petani Produsen Beran tahun 1969-1988” Skripsi. Progam Studi Ilmu Sejarah Kekhususan Sejarah Indonesia, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok.
Primus, J. “Kisah Bulgur, Makanan Kuda Penyelamat Indonesia dari Kelaparan” dalam https://www.kompas.com/stori/read/2022/12/17/100653879/kisah-bulgur-makanan-kuda-penyelamat-indonesia-dari-kelaparan diakses Senin, 3 Maret 2025, pukul 14:44 WIB.
Rachmadita, A. “Tak Ada Beras, Gandum pun Jadi” dalam https://historia.id/ekonomi/articles/tak-ada-beras-gandum-pun-jadi-DWjol/page/3 diakses Senin, 3 Maret 2025 pukul 11:34 WIB.