Konferensi Meja Bundar (KMB) & Kemerdekaan bagi Perguruan Tinggi di Indonesia

Konferensi Meja Bundar (KMB) & Kemerdekaan bagi Perguruan Tinggi di Indonesia

Konferensi Meja Bundar (KMB) & Kemerdekaan bagi Perguruan Tinggi di Indonesia

Gambar 1. Upacara penandatanganan pengakuan kedaulatan sebagai hasil perundingan Konferensi Meja Bundar. RIS diwakili oleh Drs Moh Hatta, sedangkan Negeri Belanda oleh Ratu Juliana, Perdana Menteri Dr Willem Drees dan Menteri Seberang Lautan Mr AMJA Sassen, di Istana Kerajaan (Koninklijk Paleis) di Amsterdam (Negeri Belanda) pada tanggal 27 Desember 1949 (Sumber: Sekretariat Negara Republik Indonesia 1978a: 249 dalam buku “Sejarah Kelahiran Institut Pertanian Bogor Lembaga Pendidikan Tinggi Ilmu-Ilmu Pertanian Tertua di Indonesia”, hlm. 82).

Hadirnya perguruan tinggi merupakan hal penting dalam sejarah pendidikan di Indonesia. Perguruan tinggi memiliki andil yang besar dalam menghasilkan seorang pemimpin. Selain itu, perguruan tinggi dinilai sebagai tempat yang tepat untuk melahirkan agen perubahan. Hal ini tentu bukan tanpa alasan. Para generasi muda dapat mengembangkan karakter dan meningkatkan kualitas diri melalui pembelajaran di perguruan tinggi. Perjalanan pembentukan perguruan tinggi di Indonesia berkaitan erat dengan masa Revolusi Kemerdekaan (1945–1949). Sebab perjalanannya disertai dengan arus dan gejolak politik yang terjadi dalam pemerintahan. 

Salah satu peristiwa penting pada masa Revolusi Kemerdekaan (1945–1949) ialah Konferensi Meja Bundar (KMB). Peristiwa inilah yang membawa pengaruh besar terhadap sejarah perguruan-perguruan tinggi di Indonesia. KMB mulai dilaksanakan pada tanggal 23 Agustus 1949 hingga 2 November 1949. Peristiwa ini menghasilkan beberapa hal, salah satunya ialah penyerahan kedaulatan Belanda atas Indonesia (kecuali Irian Barat). Pada tanggal 27 Desember 1949, Belanda secara resmi menyerahkan kembali pemerintahan kepada Republik Indonesia Serikat (RIS). Penyerahan kedaulatan Belanda atas Indonesia kepada Negara RIS bertempat di Istana Kerajaan (Koninklijk Paleis) Amsterdam, Belanda. Acara penyerahan dipimpin oleh Ir. Soekarno. Pada tanggal yang sama juga dilakukan penandatanganan penyerahan kedaulatan Belanda atas Indonesia. Sri Sultan Hamengku Buwono IX mendapat mandat untuk mewakili Indonesia dan AHJ Lovink merupakan perwakilan Belanda sebagai Wakil Tinggi Mahkota di Istana Jakarta. 

Gambar 2. Upacara penandatanganan penyerahan kekuasaan, sebagai hasil perundingan Konferensi Meja Bundar. Sri Sultan Hamengkubuwono IX mewakili Indonesia dan Wakil Tinggi Mahkota, AHJ Lovink mewakili Negeri Belanda di Istana Jakarta pada tanggal yang sama, tanggal 27 Desember 1949 (Sumber: Sekretariat Negara Republik Indonesia 1978a: 249 dalam buku “Sejarah Kelahiran Institut Pertanian Bogor Lembaga Pendidikan Tinggi Ilmu-Ilmu Pertanian Tertua di Indonesia”, hlm. 83).

Penyerahan kekuasaan dari Belanda ke pemerintah Indonesia ini menandai berakhirnya pendudukan Belanda di Indonesia. Namun pada dasarnya, bukan hanya kedaulatan Indonesia yang berhasil kembali diambil alih, tetapi juga seluruh aset-asetnya, termasuk Universiteit van Indonesië. Dengan penyerahan kedaulatan tersebut maka kepemilikan Universiteit van Indonesië berpindah tangan dari pemerintah Belanda ke pemerintah RIS. Namun ternyata RIS hanya bertahan sampai tanggal 15 Agustus 1950. Hal ini dikarenakan menguatnya sentimen pro-Republik di negara-negara federal yang didirikan oleh Belanda. Federalisme dianggap sebagai muslihat Belanda untuk memecah-belah bangsa Indonesia. 

Pemecahbelahan wilayah Indonesia secara administratif dan politis sangat berdampak terhadap pendidikan tinggi di Indonesia. Eksistensi perguruan tinggi di wilayah Indonesia menjadi terpisah-pisah di dua wilayah, yakni wilayah republik dan federal. Perguruan Tinggi di wilayah republik dikelola oleh bangsa Indonesia yang hampir semua staf pengajarnya adalah orang-orang Bumiputera (Indonesia) serta dengan fasilitas yang sangat terbatas. Sementara itu perguruan tinggi yang terletak di wilayah federal dikelola oleh Belanda dengan mayoritas staf pengajar berkebangsaan Belanda yang cakap dan mumpuni. Perbedaan ini pada akhirnya sangat berpengaruh terhadap kualitas pengajaran dan pengetahuan yang diterima oleh para mahasiswa. 

Gambar 3. Dokumen Undang-Undang Darurat 1950 (Sumber: Buku “Sejarah Kelahiran Institut Pertanian Bogor Lembaga Pendidikan Tinggi Ilmu-Ilmu Pertanian Tertua di Indonesia”, hlm. 84).

Meskipun kepemilikan Universiteit van Indonesië telah beralih tangan ke bangsa Indonesia, namun landasan penyelenggaraan corak perguruan tinggi belum berubah secara otomatis. Sebelum penyerahan kedaulatan, penyelenggaraan Universiteit van Indonesië berdasarkan Ordonansi Perguruan Tinggi 1946, yaitu Undang-Undang Perguruan Tinggi yang dibuat Pemerintah Kolonial Belanda. Pada tanggal 23 Januari 1950, Pemerintah RIS mengeluarkan UU Darurat No. 7 Tahun 1950 tentang Perguruan Tinggi. Undang-undang darurat ini berisikan amanat kepada Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan untuk mengambil segala tindakan dalam waktu sependek-pendeknya, “dan djika perlu menjimpang dari segenap peraturan jang berlaku untuk Universiteit van Indonesië”, agar Universiteit van Indonesië dapat cepat memenuhi aturan nasional RIS. 

Penyerahan kedaulatan dan terbentuknya kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) telah mendorong terjadinya perubahan formasi dan konstelasi perguruan tinggi di Indonesia. Hal ini berlaku juga terhadap penamaan Universiteit van Indonesië yang dilahirkan dan dikelola oleh Belanda. Universiteit van Indonesië kemudian diambil alih oleh suatu badan yang dibentuk pemerintah bernama Balai Perguruan Tinggi Republik Indonesia (BPTRI) pada tanggal 2 Februari 1950. Namanya juga diubah menjadi Universiteit van Indonesia. Empat tahun berselang kembali terjadi perubahan nama menjadi Universitas Indonesia (UI). Perubahan nama ini merupakan bagian dari proses Indonesianisasi “meng-Indonesia-kan” pendidikan tinggi di Indonesia sehingga penggunaan istilah Belanda diganti dengan istilah-istilah Indonesia. 

Gambar 4. Lanjutan Dokumen Undang-Undang Darurat 1950 (Sumber: Buku “Sejarah Kelahiran Institut Pertanian Bogor Lembaga Pendidikan Tinggi Ilmu-Ilmu Pertanian Tertua di Indonesia”, hlm. 84).

Proses Indonesianisasi membawa perubahan signifikan terhadap sejarah perguruan tinggi di Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan kemunculan universitas secara masif di beberapa kota besar di Indonesia pada periode 1950an. Munculnya universitas merupakan bagian dari jati diri bangsa yang telah merdeka. Perguruan tinggi menjadi simbol persatuan bangsa pada awal masa kemerdekaan. Selain itu, perguruan tinggi juga menjadi penghubung antara rakyat dengan pemerintah. Perguruan tinggi secara aktif terlibat dalam usaha-usaha untuk mengentaskan kondisi rakyat yang porak-poranda akibat perang yang berkepanjangan. Situasi ini menggambarkan bahwa perguruan tinggi memang tidak dapat terlepaskan dari aktivitas politik sebuah negara. 

Sejatinya peristiwa Konferensi Meja Bundar bukan hanya sekadar peristiwa bersejarah yang perlu dikenang tetapi juga menjadi refleksi bagi seluruh rakyat Indonesia, terutama generasi muda. Melalui peristiwa inilah para generasi muda dapat semakin memahami makna kemerdekaan. Konferensi Meja Bundar adalah bukti nyata bahwa kemerdekaan tidak hanya terbatas pada lingkup satu bidang saja. Kemerdekaan dapat diperjuangkan dalam seluruh bidang kehidupan, tidak terkecuali bidang pendidikan. Sebagaimana yang telah dilakukan oleh para pendahulu dalam memperjuangkan jati diri bangsa melalui pembentukan sebuah perguruan tinggi yang bersifat nasional di tanah air Indonesia. 

Daftar Pustaka :

Manuwoto S, dan Soekarja Somadikarta. 2017. Sejarah Kelahiran Institut Pertanian Bogor Lembaga Pendidikan Tinggi Ilmu-Ilmu Pertanian Tertua di Indonesia. Bogor: IPB Press.

Manuwoto S, dkk. 2017. Sejarah Perjalanan Institut Pertanian Bogor Sebagai Lembaga Pendidikan Tinggi Pertanian 1963—2017 : Buku 1 Pertumbuhan dan Perkembangan IPB. Bogor: IPB Press.

Manuwoto S, dkk. 2020. Sejarah Kemahasiswaan IPB 1963–2018. Bogor: IPB Press.

Widodo, Djoko Setyo. Tanpa tahun. Pengembangan SDM Peluang dan Tantangan Pendidikan Tinggi di Indonesia. Surabaya: Cipta Media Nusantara.