Kisah Hidup Go Ban Hong, Guru Besar Ilmu Tanah IPB
Kisah Hidup Go Ban Hong, Guru Besar Ilmu Tanah IPB
Go Ban Hong lahir di Gorontalo pada 21 Oktober 1925 sebagai anak kelima dari delapan bersaudara. Ia merupakan putra dari pasangan Go Soei Kho dan Ong Tjiaw Lioe Nio. Ayahnya bekerja sebagai juru tulis untuk seorang pedagang kopra di pusat Kota Gorontalo. Ketika berusia enam tahun, ia mulai bersekolah di Holandsche Chinese School (HCS) Gorontalo, sebuah sekolah dasar yang didirikan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Setelah tiga tahun menempuh pendidikan di HCS, Go Ban Hong dan keluarganya pindah ke Poso, Sulawesi Tengah. Ia kemudian melanjutkan sekolah di Christelijke Holandsche Inlandsche School (CHIS). Saat bersekolah di CHIS, ia menunjukkan minat besar terhadap mata pelajaran matematika, geografi, dan bahasa Belanda.

Setelah menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di CHIS Poso, Go Ban Hong dikirim oleh ayahnya ke Kota Solo pada 1939. Kepindahannya ini bertujuan untuk melanjutkan pendidikan di sekolah guru, yakni Christelijke Kweekschool Surakarta (CKS). Go Ban Hong merasa gembira dengan kehidupan barunya di Surakarta, terutama karena ia tinggal di asrama yang menyediakan lingkungan belajar yang layak. Namun dirinya juga harus menghadapi tantangan karena latar belakangnya sebagai keturunan Tionghoa. Ia mengalami perlakuan berbeda, terutama dalam kewajiban membayar uang sekolah dan biaya asrama dua kali lipat dari yang seharusnya. Beruntung berkat dukungan Tan Hian Kho, istri Go Soei Keng, adik bungsu ayahnya, ia dapat menyelesaikan pendidikannya di CKS Solo pada 1942 sebelum akhirnya sekolah tersebut ditutup oleh pihak Jepang.
Pada Januari 1946, saat situasi membaik, Go Ban Hong kemudian mendaftar ke Hogere Burgerschool (HBS)━sekolah tingkat menengah atas (SMA)━di Surabaya untuk melanjutkan sekolah yang terputus semasa di Solo. Ia memilih HBS-B atau HBS Jurusan Eksakta. Semasa bersekolah di HBS inilah kecintaannya terhadap Ilmu Botani (tanaman dan hewan) mulai tumbuh. Ia sangat mencintai mata pelajaran plant en dierkunde (ilmu tanaman dan hewan). Ia berhasil lulus dari HBS Surabaya pada 1947.

Go Ban Hong kemudian melanjutkan studi di Fakultas Pertanian Universitas Indonesia (UI)━kini menjadi Institut Pertanian Bogor (IPB)━pada 1948. Selama berkuliah, pemikiran Go Ban Hong banyak dipengaruhi oleh Prof Jan van Schuylenborgh dan Prof Hille Ris Lambers. Keduanya berperan dalam membentuk fondasi pengetahuan seorang Go Ban Hong muda tentang ilmu tanah. Rasa semangat untuk mendalami ilmu tanah semakin menguat setelah mendengarkan pidato Bung Karno yang berjudul “Hidup atau Mati”. Pidato ini disampaikan pada 27 April 1952 dalam acara peletakan batu pertama pembangunan kampus Fakultas Pertanian Universitas Indonesia di Bogor, Jawa Barat. Dalam pidatonya, Bung Karno menegaskan pentingnya memastikan ketersediaan pangan bagi rakyat. Amanat tersebut menjadi inspirasi baginya untuk mendedikasikan hidup pada ilmu tanah sebagai jalan hidup yang ia pilih.
Setelah tujuh tahun kuliah, Go Ban Hong akhirnya berhasil mengikuti ujian skripsi pada tanggal 30 Januari 1953. Skripsinya hanya setebal 12 halaman yang membahas pengaruh kapur pada polong kacang tanah. Setahun kemudian, Go Ban Hong resmi menyandang gelar insinyur pertanian. Setelah menyelesaikan pendidikan sarjana, ia bergabung sebagai staf pengajar di Sekolah Menengah Analis Kimia (SMAK) Bogor hingga tahun 1956. Di samping itu, ia juga memulai karier sebagai peneliti di Balai Penyelidikan Tanah Bogor serta mengajar mata kuliah kesuburan tanah dan hara tanaman di Jurusan Ilmu Tanah IPB. Saat bekerja di Balai Penyelidikan Tanah Bogor, ia meneliti neraca mineral tanah sebagai topik disertasinya. Disertasi berjudul “Penyelidikan tentang Neratja Hara Mineral dari Padi Sawah (Oryza Sativa L)” ini dibimbing oleh Prof. Jan van Schuylenborgh. Pada 7 Desember 1957, Go Ban Hong berhasil mempertahankan disertasinya dan dianugerahi gelar Doktor Ilmu Pertanian oleh Fakultas Pertanian Universitas Indonesia.

Pada 1 September 1964, Go Ban Hong diangkat sebagai Guru Besar Luar Biasa Ilmu Kimia Tanah di IPB oleh Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan, Prof. Dr. Ir. Tojib Hadiwidjaja. Kariernya sempat terhenti karena penugasannya sebagai Direktur Lembaga Pusat Penelitian Pertanian dan peneliti tamu di International Rice Research Institute (IRRI). Go Ban Hong kembali diangkat sebagai Guru Besar IPB pada 1977 setelah dipindahkan ke Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Sebagai Guru Besar Ilmu Tanah, dirinya sangat kritis terhadap masalah tanah dan pertanian di Indonesia. Ia bahkan memiliki istilah tersendiri yang disebut “kelelahan tanah” untuk menggambarkan tanah yang kehilangan kesuburannya akibat produksi terus-menerus tanpa perawatan yang cukup. Istilah ini menjadi populer di kalangan ahli tanah di Indonesia setelah pertama kali disampaikan dalam makalah “Tanah Sakit dan Sehat” pada Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi di Bogor tahun 1978.
Karier Go Ban Hong semakin berkembang pada 1980 ketika ia diminta pemerintah untuk membantu Departemen Pertanian dan Departemen Luar Negeri sebagai officer di FAO-RAFE di Bangkok. FAO-RAFE adalah lembaga internasional yang fokus pada pangan dan pertanian di Asia. Organisasi ini mendorong pertanian berkelanjutan dan pengembangan pedesaan. Pengalaman di FAO-RAFE antara 1980 hingga 1983 memperkuat keyakinannya bahwa pembangunan pertanian Indonesia harus memanfaatkan potensi lokal, baik beras maupun nonberas. Ia menganggap bahwa masyarakat Indonesia seharusnya menanam dan mengonsumsi bahan pangan sesuai dengan potensi daerah masing-masing. Go Ban Hong telah menerapkan pendekatan ini sejak tahun 1971 dengan rutin sarapan menggunakan pisang dan mengonsumsi umbi-umbian untuk makan siang atau malam. Ia juga berhenti mengonsumsi nasi sebagai bagian dari upaya mendukung ketahanan pangan dan memanfaatkan potensi lokal.

Pada 27 November 1986, Go Ban Hong resmi pensiun sebagai Guru Besar IPB. Keputusan pensiun tersebut berdasarkan Surat Keputusan (SK) yang diterbitkan oleh Presiden Soeharto. Walaupun telah resmi pensiun, namun langkahnya di dunia akademik tidak berhenti. Pada 1988, ia mulai mengemban tugas sebagai Guru Besar di Universitas Sintuwu Maroso (Unsimar), Poso, Sulawesi Tengah. Bahkan pihak Unsimar telah memberikan penawaran tersebut sejak 1987. Tanpa ragu, ia menyetujui tawaran tersebut sebagai bentuk dedikasinya terhadap dunia pendidikan. Ia menjalani tugas mengajar di Unsimar selama empat tahun hingga 1992.
Go Ban Hong resmi memasuki masa pensiun dari dunia akademik pada tahun 1998. Sebagai bentuk penghargaan atas dedikasinya, ia menerima berbagai penghargaan, salah satunya Anugerah Sewaka Winayaroha dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kemenristek Dikti pada tahun 2008. Penghargaan ini diberikan atas jasanya dalam memajukan dan memperkuat peran Perguruan Tinggi. Go Ban Hong berpulang pada 7 Agustus 2015 setelah menjalani perawatan intensif di ruang ICU. Ia meninggal di usia 89 tahun dan dimakamkan di Taman Pemakaman San Diego, Kawarang, Jawa Barat. Beliau meninggalkan seorang istri berusia 87 tahun dan tiga anak, yaitu Erwin Go, Yemima Mariana, dan Rosita, serta tujuh cucu. Go Ban Hong merupakan sosok yang penuh dedikasi dan pengabdian luar biasa untuk dunia pendidikan Indonesia. Meskipun telah tiada, warisan dan pengaruh positifnya akan terus menginspirasi serta dikenang sepanjang masa.
DAFTAR PUSTAKA:
Fuad, Z. 2011. Kaya Kerja Otot Miskin Kerja Otak: Kisah Hidup dan Warisan Pengetahuan Prof Dr Ir Go Ban Hong, Ilmuwan Tanah Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Manuwoto S, dan Soekarja Somadikarta. 2017. Sejarah Kelahiran Institut Pertanian Bogor Lembaga Pendidikan Tinggi Ilmu-Ilmu Pertanian Tertua di Indonesia. Bogor: IPB Press.
https://mediaindonesia.com/humaniora/6225/pak-go-guru-besar-ilmu-tanah-yang-langka (diakses Selasa, 17 Desember 2024, pukul 10:32 WIB)