Dekolonialisasi IPB: Meniti Identitas Pendidikan Tinggi (Bagian-3)
Dekolonialisasi IPB: Meniti Identitas Pendidikan Tinggi (Bagian-3)
Lanjutan dari bagian 2.
Pendidikan tinggi kolonial bukanlah sesuatu yang asing di Bogor. Faculteit van Landbouwwetenschap, seperti yang telah disinggung pada bagian kedua sebelumnya, berkedudukan di kota ini. Setelah eksistensi fakultas tersebut berakhir pada tahun 1942, riwayat pendidikan tinggi di kota ini adalah cerita tentang transformasi dua fakultas Universitas Indonesia (UI) di Bogor, yang didirikan dan diadakan oleh sivitas akademika Belanda, menjadi Institut Pertanian Bogor (IPB). Sosiolog Universitas Kentucky, Howard Beers (1971: 9-13), telah merangkum riwayat pendidikan tinggi di Bogor ini.
Sejak dasawarsa 1940-an, kampus UI di Bogor menyelenggarakan dua institut yaitu Fakultas Pertanian dan Fakultas Kedokteran Hewan. Bertahan dalam waktu yang tak sebentar, pada paruh kedua dasawarsa berikutnya perubahan mulai terjadi. Prof. Dr. Ir. Toyib Hadiwidjaja, yang telah disinggung pada bagian pertama artikel bersambung ini, berhasil mencatatkan diri menjadi orang Indonesia pertama yang memimpin UI di Bogor, yaitu sebagai Dekan Fakultas Pertanian sejak 1957. Ini menandai mulai hadirnya sivitas Indonesia di dalam pendidikan yang sebelumnya didominasi oleh orang Belanda. Tonggak perubahan yang ditorehkan Profesor Toyib tak berhenti sampai di situ. Ketika Beliau diangkat menjadi Menteri pada tahun 1962, Profesor Toyib segera mencetus gagasan tentang pemisahan dua fakultas di Bogor dari UI dan membentuknya menjadi sebuah universitas baru.

Perubahan total UI di Bogor akhirnya terjadi pada tahun 1963. Atas keputusan Menteri Toyib, pada September tahun ini disahkan bahwa dua fakultas UI di Bogor resmi dipisahkan dari induknya dan menyatukannya, bersama dengan tiga institut baru yaitu Fakultas Kehutanan, Fakultas Perikanan, dan Fakultas Peternakan, menjadi IPB yang otonom. Perubahan ini adalah pengorganisasian sebuah lembaga pendidikan tinggi yang benar-benar baru. Di dalamnya meliputi pengaturan kurikulum, pembagian bidang studi, peraturan, dan hal terkait lainnya. Secara singkat, IPB lahir dengan sistem tata kelola baru yang berbeda dengan pendahulunya.
Namun demikian, IPB lahir bukan sekadar sebagai sebuah formasi organisasi baru. Kelahirannya secara inheren juga memulai suatu kecenderungan yang baru pula, menggantikan apa yang sebelumnya terjadi dengan model Belanda pada UI di Bogor. Di antara yang menonjol ialah diadakannya pendidikan yang lebih interdisipliner dan berorientasi pada perubahan sosial (Luthfi 2020: 117-119). Pengajaran di IPB tidak hanya berfokus pada spesialisasi bidang terkait di fakultas, tetapi juga menekankan topik studi yang lebih meluas terutama dengan subjek sosio-ekonomi. Kampus juga diarahkan untuk dapat membangun kerja sama lintas sektor, yaitu antara dunia akademik, masyarakat, dan pemerintah, agar perbaikian riil di kehidupan rakyat dapat terjadi. Salah satu figur yang memimpin terjadinya aneka kecenderungan ini adalah Sajogyo, Bapak Sosiologi Pedesaan Indonesia yang menjadi Rektor IPB pada 1965-1966.
Bersambung ke bagian 4.
Referensi
Beers, Howard W. An American Experience in Indonesia: The University of Kentucky Affiliation with the Agricultural University of Bogor. Lexington: The University Press of Kentucky, 1971.
Luthfi, Ahmad Nashih. “Decolonizing Agrarian Knowledge and the Emergence of Indonesian Critical Agrarian Studies.” Lembaran Sejarah, Vol. 16, No. 2 (October 2020), pp. 103-122.
Rahman C. Adiatma, Staf edukator Museum dan Galeri IPB Future