Dekolonialisasi IPB: Meniti Identitas Pendidikan Tinggi (Bagian-2)

Dekolonialisasi IPB: Meniti Identitas Pendidikan Tinggi (Bagian-2)

Dekolonialisasi IPB: Meniti Identitas Pendidikan Tinggi (Bagian-2)

Lanjutan dari bagian 1.

Perubahan datang dari suatu keadaan lama yang coba diubah. Salah satu persoalan mendasar dari pendidikan tinggi yang diadakan oleh Belanda di Indonesia ialah hanya berfokus untuk melahirkan pegawai administratif (klerikal) dari negara kolonial. Seperti dicatat oleh Mochtar Buchori dan Abdul Malik (2004: 253):

“Pendidikan tinggi di Hindia Belanda utamanya berfokus dalam pelatihan profesional dan kurang pada studi-studi akademis yang berorientasi riset. Pokok niatannya ialah untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja profesional guna mendukung administrasi kolonial, yang mengalami kekurangan insinyur dan professional sejenis dari Belanda, musabab Perang Dunia Pertama.”

Dengan demikian, tak mengherankan jika pendidikan tinggi kolonial diadakan dengan sangat spesialistis, yaitu tidak berupaya mengembangkan ilmu pengetahuan yang berada di luar kepentingan kekuasaan penjajah. Pendidikan tinggi kolonial yang spesialistis ini adalah sebuah model pendidikan propaedeutic atau “persiapan” (Smith 1960: 18). Perkuliahan diadakan dengan hanya memberikan materi pengantar dan topik bahasan terbatas dari rumpun fakultas terkait. Pada akhirnya, wawasan lintas disiplin ilmu kemudian tidak dapat berkembang.

Tentu saja, kecenderungan-kecenderungan di atas juga terjadi di dalam lingkup pendidikan tinggi bidang pertanian, yang mulai diadakan sejak didirikannya Faculteit van Landbouwwetenschap pada 1940. Pendidikan yang terjadi di dalam fakultas tersebut mengadopsi model dari institut serupa yang berada di Kota Wageningen, Negeri Belanda (Beers 1971: 10-11). Tujuan pendidikannya ialah untuk dapat melatih calon pegawai yang akan bekerja di institusi dan kantor pemerintahan kolonial. Orientasi untuk mengembangkan sektor pertanian rakyat biasa tidak menjadi fokus. Sebab, perhatian lebih diberikan untuk menyokong produksi komoditas tanaman ekspor milik negara kolonial.

Dekolonialisasi pendidikan tinggi
Gambar 1. Gedung Geneeskundige Hoogeschool tempat pendidikan tingkat propadeuse mahasiswa Faculteit van Landbouwwetenschap di Jakarta pada tahun 1940 (Sumber: Leiden University Libraries)

Mazhab Kontinental Eropa yang dibawa Belanda merupakan tradisi akademik yang menginisiasi kelahiran pendidikan tinggi kolonial seperti diurai pada bagian ini. Di dalam mazhab tersebut, Belanda membuat sebuah sistem pendidikan tinggi kolonial yang umum dikenal sebagai “Studi Bebas.” Tentang hal ini Sejarawan Universitas Gadjah Mada, Farabi Fakih (2020: 102), merangkum bahwa:

“Di bawah sistem Studi Bebas model Belanda … para mahasiswa tidak diwajibkan menghadiri kuliah. Ujian dilakukan secara lisan dan jika mahasiswa gagal, ujian tersebut dapat diulang. Pada kenyataannya, 60 hingga 70 persen mahasiswa gagal dalam percobaan pertama ujian mereka. Sedikit sekali panduan atau struktur yang ada di dalam sistem ini. Selain itu, kurangnya aneka fasilitas [akademik], buku, dan ragam laboratorium [juga terjadi].”

Bersambung ke bagian 3.

Referensi

Beers, Howard W. An American Experience in Indonesia: The University of Kentucky Affiliation with the Agricultural University of Bogor. Lexington: The University Press of Kentucky, 1971.

Buchori, Mochtar, Abdul Malik. “The Evolution of Higher Education in Indonesia.” In Philip G. Altbach, Toru Umakoshi, eds., Asian Universities: Historical Perspectives and Contemporary Challenges, pp. 249-278. Baltimore: The Johns Hopkins University Press, 2004.

Fakih, Farabi. Authoritarian Modernization in Indonesia’s Early Independence Period: The Foundation of the New Order State (1950-1965). Leiden: Brill, 2020.

Smith, Bruce L. Indonesian–American Cooperation in Higher Education. East Lansing: Institute of Research on Overseas Programs Michigan State University, 1960.

Rahman C. Adiatma, Staf edukator Museum dan Galeri IPB Future